Meretas Jarak, Merawat Jejak: Tiga Temu Pemikiran Feminis

PENGANTAR

oleh: Himas Nur (she/her) —Redaktur Pelaksana dan Alumni Sekolah Pemikiran Perempuan 2023

 

Kuasa pengetahuan kerap menyingkirkan kelompok rentan dalam mengartikulasikan pengalaman, bahkan mengenali dan mendeskripsikan diri. Penokohan yang diglorifikasi, teori-teori yang dikanonisasi, melulu bersumber dari laki-laki cisgender-heteroseksual-nondisabel-kulit putih. Praktik dominasi ini menghapus ragam pemikiran perempuan, queer, disabilitas, masyarakat adat, orang-orang “dunia ketiga” dan yang liyan.

Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) berupaya merawat jejak para pemikir feminis yang berserak; merangkai ruang dan waktu yang tak terhubung, sembari membangun jembatan agar terus tersambung. Serupa menghirup napas yang sama dan masa yang tak jauh beda, ketika diri meniti satu demi satu warisan karya dari para pemikir feminis. Siasat perlawanan dan asa pendahulu yang tak padam, mampu meretas jarak dan meyakinkan bahwa kita tak pernah sendiri. Pertemuan antarkeping pemikiran feminis menjadi peta dan kompas bagi kita di kini, untuk terus bertumbuh, melanjutkan perjalanan—dan pembangkangan.

Kumpulan tulisan ini merupakan bagian dari perjalanan para peserta Sekolah Pemikiran Perempuan 2023. Mereka menelusuri ragam pemikiran feminis berbekal pembelajaran kelas yang telah ditempuh sejak 21 Januari hingga 27 Mei 2023. Kelas SPP terdiri atas tiga topik besar yang dibagi ke dalam tiga modul alternatif. Modul 1 “Sejarah Pemikiran Feminis” berlangsung dari 21 Januari sampai 11 Maret 2023. Selama total delapan pertemuan, 22 peserta membaca bersama ragam pemikiran feminis dalam konteks lokal dan global. Mereka mempelajari pemikiran feminisme nusantara, kulit berwarna, interseksional, transnasional, dan dekolonial yang kerap absen dari kontestasi wacana arus utama.

Pada Modul 2 “Politik Gender dalam Seni dan Budaya”, para peserta kelas aktif menantang, menganalisis, dan mempertanyakan secara kritis diskriminasi yang sistemik terjadi dalam wilayah seni dan budaya. Sepanjang lima pertemuan yang berlangsung dari 18 Maret hingga 15 April 2023, peserta kelas tekun menelisik praktik politik, representasi dan bias gender. Mereka juga mengidentifikasi bingkai tatapan dalam wajah seni yang tak empatik dan mengobjektifikasi liyan. Selain itu, peserta kelas juga bekenalan dengan ragam bentuk perlawanan bunyi, serta menonton dan mendiskusikan karya kawan melalui Klub Cerap.

“Aktivisme Kultural Feminis” adalah fokus selanjutnya yang dipelajari para peserta Sekolah Pemikiran Perempuan 2023. Kelas berlangsung dari 29 April sampai 27 Mei 2023. Terdapat dua jenis kegiatan pada modul terakhir. Pertama, ruang belajar bersama para rekan feminis yang telah mengorganisasi acara dan proyek kerja. Kegiatan ini meliputi mendengar pengalaman, kendala, hambatan, sekaligus siasat yang telah dijalankan dan memikirkan bersama upaya yang bisa dilakukan secara kontinu. Kedua, Modul 3 dijalankan dengan metode lokakarya untuk mempelajari pengelolaan Etalase Pemikiran Perempuan.

Etalase Pemikiran Perempuan, selanjutnya ditulis Etalase, merupakan gagasan yang juga diprakarsai oleh SPP. Penyelenggaraan festival pemikiran feminis ini telah berlangsung sejak 2019. Mulai 2020, penyelenggaraan Etalase dilakukan secara daring guna memperluas jangkauan sirkulasi pengetahuan yang ada di nusantara. Bahasa utama yang digunakan dalam serangkaian festival ini adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo).

Sekolah Pemikiran Perempuan membongkar dan melakukan klaim atas kata “etalase”. Etalase bukanlah tempat memajang barang dengan sematan nominal, melainkan ruang dalam memamerkan karya serta pemikiran dari puan dan kelompok marginal. Penyelenggaraan bentuk festival semacam Etalase diperlukan guna merebut ruang atas dominasi perayaan seni budaya yang masih seksis, ableist, dan cisheteronormatif. Perebutan ruang dapat diupayakan dengan membangun wacana tanding maupun mendirikan panggung yang setara, inklusif, dan berperspektif feminis. Kerabat kerja “di belakang panggung” Etalase juga punya peran sentral yang sama dalam membongkar kuasa pengetahuan.

Lokakarya pada Modul 3 membicarakan konsep dan perencanaan panel-panel Etalase. Para peserta dan pengelola SPP bersama-sama melakukan kurasi dengan metode berperspektif feminis. Mereka mendiskusikan karya-karya yang akan dilantangkan, tokoh-tokoh yang akan dibangkitkan kembali, pemikiran-pemikiran yang akan digali. Etalase merupakan proses pengorganisasian feminis dan siasat bersama dalam menciptakan panggung—yang aman, nyaman, kritis, dan berpedoman pada etika feminis.

Tulisan tiga temu pemikiran feminis ini kian kuat sebab dibekali dengan lokakarya kolaborasi SPP dan Lab Perspektif Dewan Kesenian Jakarta. Para penulis menyajikan presentasi tentang proses kreatifnya dalam menuliskan pemikiran feminis. Lokakarya ini berlangsung secara daring pada 7 Oktober 2023. Beberapa penanggap yang turut menebalkan gagasan, antara lain Fathimah Fildzah Izzati, Raisa Kamila, Ita Fatia Nadia, Intan Paramaditha, Lisabona Rahman, Naomi Srikandi, Margareth Ratih Fernandez, serta segenap alumni Sekolah Pemikiran Perempuan. Proses dialog lanjutan juga saling terjalin antarpenulis, Redaktur Pelaksana, dan Astrid Reza selaku Editor Bahasa.

Naskah-naskah berikut merupakan pembacaan para penulis setelah belajar dan menelusuri pemikiran Siti Rukiah (lahir 1927), Nawal El Saadawi (lahir 1931), dan Gloria Anzaldúa (lahir 1942). Ketiganya merupakan sosok feminis yang menginspirasi peserta Sekolah Pemikiran Perempuan 2023. Mari kita alami, rasakan, dan turut larut dalam semangat juang para pemikir feminis tersebut melalui tiga tulisan ini.

Ama Gaspar, Asri Pratiwi Wulandari, Silvy Chipy dan Udiarti mengajak kita menyelami luas pemikiran Rukiah melalui tulisan “S. Rukiah: Sastra dan Perjuangan Perempuan yang Tak Putus”. Kiprah Rukiah di dunia sastra beresonansi dengan perjuangannya dalam gerakan politik. Pemikiran Rukiah tajam, tegas, sekaligus revolusioner. Sebagai penulis sekaligus aktivis Lekra, ia mengkritik jejak kolonial melalui ragam penokohan di cerita-ceritanya. Karya Rukiah juga begitu dekat. Dengan nada satire dan semangat pembebasan, kritik yang lantang Rukiah serukan, ia datangkan dari perspektif “orang biasa”. Ide bahwa perlintasan identitas turut mempengaruhi kondisi yang dialami perempuan, juga tekun Rukiah sampaikan. Ia memahami bahwa penindasan yang dialami perempuan perlu ditelisik dari sudut pandang yang lebih beragam. Mendalami pemikiran Rukiah melalui puisi dan cerpennya, serupa sedang menyelami dinamika perjuangan perempuan di tengah gejolak revolusi; cerdas dan berani.

Selanjutnya ada “Nawal El Saadawi, Pembangkang yang Membongkar Patriarki di Dunia Arab” yang dituturkan oleh Ayomi Amindoni, Tyassanti Kusumo Dewanti, Restiana Purwaningrum, dan Eka Wahyuni. Nawal diingat melalui sumbangan pemikirannya terhadap wacana feminisme transnasional. Ia menolak bahwa model feminisme berkiblat di Barat, begitu pula dengan patriarki yang diyakini hanya terjadi di negara “dunia ketiga”. Melalui karya-karyanya, Nawal mengatakan bahwa perjuangan perempuan tak dapat dimenangkan tanpa membongkar seksisme, kapitalisme dan imperialisme. Nawal dikenal pula sebagai penulis, aktivis, dokter dan psikiater yang menjunjung kemerdekaan diri dan ketubuhan manusia. Ia mengecam kekerasan seksual atas nama praktik kultural hingga dominasi tafsir kepercayaan. “Sunat Perempuan” merupakan salah satu praktik kekerasan seksual yang dengan lantang disuarakan oleh Nawal melalui karya sastra dan nonfiksinya. Tulisan “Nawal El Saadawi, Pembangkang yang Membongkar Patriarki di Dunia Arab” sekaligus hendak menawarkan pembacaan yang lebih luas atas terminologi “Sunat Perempuan”. Refleksi kritis ini didasarkan pada upaya bersama untuk menumbuhkan ruang yang lebih inkusif dan adil gender.

Rasa sakit atas luka, trauma kolektif, serta peminggiran di bentang perbatasan identitas memenuhi ruang pengkaryaan Gloria Anzaldúa. Namun dengan penuh pula ia memberi ramuan penawar. Karya-karyanya mengenalkan jeda dan proses dialog diri melalui kekuatan transformatif yang menenangkan nan menyembuhkan. Ragam pengalaman dan kekayaan pemikiran Gloria Anzaldúa tersebut diriwayatkan oleh Dewi Rosfalianti Azizah dan Himas Nur melalui “Gloria Anzaldúa: Wacana Pengalaman Ketubuhan dan Aktivisme Spiritual”. Gloria Anzaldúa merumuskan tujuh langkah Conocimiento atau aktivisme spiritual sebagai basis membangun kesadaran dan solidaritas. Ia mengenalkan pula konsep Nepantla, ruang liminal guna saling mengenal, bernegosiasi, dan mendukung rangkai-temu identitas. Bagi Gloria Anzaldúa, di tengah dunia literatur yang kolonial, patriarkal, seksis, kapitalis, dan heteronormatif, menulis adalah bentuk resistensi. Para perempuan “dunia ketiga”, masyarakat adat, queer, disabel, dan kawan-kawan liyan dapat menuliskan pengalaman hidupnya sendiri dan mereklaim narasi yang melulu berpusat pada wacana hegemonik.

Tulisan tiga temu pemikiran feminis ini bukanlah panduan dalam mengilhami warisan mereka, melainkan pemantik bagi kita semua untuk melakukan pencarian lanjutan, menyelam lebih dalam dan mengenal lebih dekat para pemikir feminis yang kerap disingkirkan. Ketiga tulisan ini bukan pula garis finis yang menandai usainya proses belajar para peserta Sekolah Pemikiran Perempuan 2023. Kawan-kawan dapat melayangkan tanggapan, masukan, bahkan ajakan untuk menuliskan pemikiran feminis yang belum disampaikan di sini.

Sebagaimana lintasan yang tak pernah pungkas, ketiga tulisan ini merupakan upaya meneruskan rantai semangat yang telah diawali oleh peserta Sekolah Pemikiran Perempuan 2022. Ada Gema Swaratyagita, Martha Hebi, Riyana Rizki, dan Syifanie Alexander yang telah menulis “Linda Tuhiwai Smith: Siasat Melawan Penghancuran Identitas Indijenes”. Ada pula Anna Hindom Anny, Christine Tolle, Ilda Karwayu, dan Lusiana Limono yang meriwayatkan “Marianne Katoppo: Dekolonisasi Perempuan Asia dalam Teologi”. Selain itu, ada “bell hooks: Sebuah Pesan tentang Kekuatan Cinta” yang dituturkan oleh Citra Maudy Mahanani, Dewi Kharisma Michellia, Eka Putri Puisi, Ilana Avanindra, dan Septina Rosalina Layan. Fathimah Fildzah Izzati, Luna Kharisma, Maria Pankratia, dan Raudhatul Jannah juga telah menuliskan pemikiran puan nusantara melalui “Saparinah Sadli: Kiprah dan Pemikirannya”. Sementara itu Raisa Kamila, Rezky Chiki, dan Putu Sridiniari telah mengenalkan kita pada “Françoise Vergès: Bertempur dengan Cara Merawat, Melawan dengan Cara Membenahi”. Upaya merawat jejak para pemikiran feminis ini telah dilakukan pula oleh Kartika Solapung, Keni Soeriatmadja, Sri Wartati, dan Tyas Audi Farasadina melalui “Jiwa yang Bebas: Warisan Toeti Heraty yang Tak Pernah Mati”.

Ruang-ruang pembacaan pemikiran feminis perlu terus dihidupi dengan gotong-royong dari kita semua. Begitu pula dengan upaya menuliskan pemikiran feminis maupun refleksinya melalui ragam medium lain. Kesadaran penciptaan ini menjelma serangkaian kode-kode perlawanan dan spirit keberanian. Siasat dalam mereproduksi pengetahuan puan dan liyan, sekaligus merekognisi kerja-kerja pemikir feminis pendahulu. Selamat membaca. Semangat merayakan pertemuan. Mari merawat dan berserikat.


Next
Next

S. Rukiah: Sastra dan Perjuangan Perempuan yang Tak Putus