Jiwa yang Bebas: Warisan Toeti Heraty yang Tak Pernah Mati
oleh: Kartika Solapung, Keni Soeriatmadja, Sri Wartati, dan Tyas Audi Farasadina
Toeti Heraty lahir di Bandung, 27 November 1933, sebagai putri pertama dari Roosseno Soerjohadikoesoemo dan RA Oentari. Ayahnya adalah guru besar di Institut Teknologi Bandung, mantan menteri pada masa pemerintahan Orde Lama dan pengusaha yang mendirikan Biro Oktroi Patent Roosseno. Toeti Heraty diperbolehkan untuk menempuh pendidikan tinggi oleh kedua orang tuanya—suatu kesempatan yang masih jarang didapatkan oleh anak perempuan pada masa itu. Ia menempuh pendidikan sarjana muda kedokteran di Universitas Indonesia (1955), hingga ia tamat sebatas dengan gelar sarjana muda, lantaran ia sempat berhenti kuliah setelah menikah dengan Eddy Noerhadi pada 1957 dan dikaruniai empat orang anak.
Setelah beberapa lama berkeluarga, Toeti melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah Psikologi di Belanda karena merasa ilmu kedokteran belum menjawab pertanyaannya tentang hakikat manusia. Sayangnya, situasi politik saat itu menyebabkan Toeti lagi-lagi tidak dapat menyelesaikan kuliah. Baru pada 1962, Toeti lulus dari Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia. Selanjutnya, pada 1974 Toeti melanjutkan studi Filsafat di Rijk Universiteit, Leiden, Belanda. Tahun 1979, ia menuntaskan studi doktor dari Universitas Indonesia dan pada 1982 disertasinya dicetak sebagai buku Aku dalam Budaya.
Tidak mudah menjelaskan seorang Toeti Heraty karena ia sendiri pernah berujar bahwa ia tidak ingin dikotak-kotakkan dalam profesi atau bidang tertentu. Ia memiliki jiwa yang bebas, katanya. Setelah sekian lama mendedikasikan hidup bagi anak dan suaminya, pada 1966 Toeti memutuskan pindah ke Jakarta dan mulai mengembangkan sisi lain dirinya. Ia mulai menerbitkan buah pikirannya dalam bentuk buku (prosa, puisi, non-fiksi). Puisi-puisinya menyuarakan keseharian kehidupan perempuan Indonesia, karya-karyanya mendapuk Toeti sebagai perempuan penulis puisi kontemporer dalam dunia sastra Indonesia dan mancanegara. Toeti hadir di pertemuan-pertemuan penulis dunia dan puisi-puisinya telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis.
Selama tinggal di Jakarta hingga akhir hayatnya (13 Juni 2021), Toeti aktif di kampus dan gerakan perempuan. Dari kelas yang diampunya lahir tokoh-tokoh pemikir dengan perspektif feminis yang dikenal publik saat ini. Di bidang akademik, Toeti menduduki sejumlah posisi penting, hampir-hampir di tiap pucuk tertinggi institusi, antara lain sebagai rektor IKJ (1990-1996), Guru Besar Luar Biasa Fakultas Sastra UI (1994), dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1982-1985). Sebagai aktivis perempuan, Toeti ikut mendirikan Jurnal Perempuan (1996) dan gerakan Suara Ibu Peduli. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ada yang menyebut Toeti sebagai salah satu pemikir feminis Indonesia yang sangat berpengaruh.
Toeti dan Puisi
Toeti Heraty dikenal sebagai penulis perempuan Indonesia yang produktif pada era 1970 hingga 2000-an, bahkan ia masih tetap berkarya hingga akhir hayatnya. Toeti banyak menulis tentang pengalaman perempuan dengan merekonstruksi hal-hal yang lazimnya pada zaman tersebut hanya dianggap sebagai sampiran, ia berhasil meramu pengalaman personalnya sebagai pusat utama karya-karyanya. Dalam karya-karya tersebut, ia banyak memunculkan pengalaman emosional dan gairah seksualitas perempuan. Oleh karenanya, Marian B. May (1971), A. Teeuw (1989), dan Sugihastuti (1991) menyebut karya Toeti sebagai “sajak-sajak yang mengandung unsur kewanitaan”. Dalam hal ini, penggunaan kata “wanita” dilekatkan pada konteks waktu dan sejarah sosial-politik kebudayaan di Indonesia, dan citra perempuan yang hidup pada periode 1970 sampai 1990-an. Makna wujud “citra wanita” (Indonesia) dalam sajak-sajak Toeti Heraty itu adalah perempuan dalam sosok individu manusia yang terbangun dari berbagai aspek, yaitu aspek fisis, aspek psikologis, aspek keluarga, dan aspek masyarakat. Dalam rentang waktu yang jauh, karya Toeti pun menampilkan konteks dan pemikiran yang beragam, mencakup konsep cinta, pandangan perempuan, emosi dan simbolisme, serta jawaban terhadap problem pengertian eksistensi manusia.
kepedihan cerah cuaca luas
menggetarkan siang hari yang biru
menggetar pula jaringan luka-luka beku
yang telah ditimbun dengan kenangan
dengan kenangan, kenangan selalu
(Puisi “Jakarta”, dimuat di Majalah Horison, No. 10, Th. II; Oktober 1967)
Puisi-puisi Toeti banyak membicarakan tentang keinginan individu untuk memperoleh pemenuhan dan pengertian dalam kehidupan. Toeti memberikan nilai demikian tinggi atas pencapaian hubungan yang seimbang. Keseimbangan yang diharapkannya adalah adanya pemenuhan kebutuhan emosional, seksual, dan spiritual sebagai perempuan, dan ia tidak segan untuk mengungkapkan kekecewaan dan kemarahannya ketika hal itu tidak terjadi. Toeti memiliki kemampuan untuk mengubah hal-hal yang terlihat sederhana menjadi penting dan “mengganggu” melalui karya-karyanya.
“Kemudian kau dekritkan: wanita itu pangkal dosa sebungkah daging, segumpal emosi
sekaligus imbesil dan bidadari dilipat jari kaki, dikunci pangkal paha
dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi tali lemah gemulai
Ia tertunduk karena salah, gentar, patuh mengecam diri
Dan akhirnya boleh juga, ia dimanja sekali-kali”
(Manifesto, 1980)
Sebagai akademisi dan pengajar, gagasan Toeti mengenai feminisme menyebar sebagai bibit yang tumbuh melintas generasi. Hingga saat ini, kita dapat melihat penghargaan tinggi dan besarnya pengakuan mereka terhadap buah pikir Toeti melalui tulisan murid-muridnya. Meskipun tulisan Toeti tidak banyak dikenal oleh kalangan masyarakat umum, karya-karyanya diperhitungkan dalam perkembangan seni sastra di Indonesia, bahkan sajak-sajaknya (di antaranya yang termuat dalam Contemporary Indonesian Poetry, 1975) ada yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing. Sebagai penyair, karya-karya Toeti beresonansi dengan perempuan-perempuan penyihir dan perempuan-perempuan yang meredam kemarahan.
Toeti menuliskan kisah tentang perempuan dalam versi yang berbeda. Prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000) adalah suatu cerita yang coba diinterpretasi kembali olehnya dengan sudut pandang berbeda. Tokoh Calon Arang—yang kerap muncul sebagai antagonis dalam kebanyakan pengisahannya—ditempatkannya sebagai perempuan korban budaya patriarki. Toeti secara sadar membongkar legenda yang yang sudah berabad-abad diterima. Calon Arang yang biasanya dicitrakan menindas dengan teluhnya, diposisikan sebagai korban dalam karya Toeti tersebut.
Ia pun mengajak kita melihat ancaman akan perdamaian dari patriarki yang selalu mengalamatkan kebodohan, kesalahan, dan dosa pada perempuan. Misalnya dalam prosa lirik Calon Arang: “Calon Arang, nasibmu yang malang, demi cinta lalu menghukum seluruh negeri tapi anak sendiri mengkhianati, demi cinta menjadi geram, demi cinta—dimusnahkan oleh pendeta.” (hal.35)
Dalam puisi-puisinya dan juga delapan belas prosa lirik Calon Arang, Toeti menyelami tubuh, cinta, dan keragaman perempuan. Perempuan melewati perjalanan panjang hidupnya dengan pengalaman ketubuhan dari seorang gadis hingga menjadi janda, tidak pernah terlepas dari persoalan reproduksi. Toeti pun tidak ragu-ragu untuk membahas seksualitas perempuan secara bebas, tentang gairah dan hasrat perempuan seringkali terbentur dengan norma dan fungsi perempuan yang lumrah dipersempit hanya dalam reproduksi.
“Cinta sebagai suatu ilusi, karena kecenderungan romantik—lalu dimuliakan ternyata jebakan biologi sebagai penerus jenis yang ia tak sadari.”
(Calon Arang, hal.43)
Tulisan-tulisan Toeti seringkali berangkat dari kegelisahan yang dialami oleh dirinya dan relasinya dengan orang-orang terdekat. Hal ini konsisten ia tuliskan bahkan hingga buku terakhirnya: AJAIB, NYATA, TERKADANG LUCU - Fragmen Autobiografi Toeti Heraty (2021). Dalam buku autobiografinya, Toeti menceritakan kisah hidupnya—hampir tanpa saringan. Toeti memang seorang pemberani. Ia tanpa ragu menampilkan kerapuhannya, alasan-alasan mengapa ia melakukan hal-hal yang dianggap menentang di masa lalu, dan penyesalan-penyesalannya. Kiprah Toeti selama puluhan tahun mengantarkannya ke sebuah kebijaksanaan: “menjadi feminis tidak berarti harus menjadi martir” meskipun ia mengakui bahwa menjadi feminis merupakan pertarungan yang terselubung. Kita harus jeli dalam melihat konteks-konteks lebih spesifik, karena setiap perempuan akan menempati posisi berbeda dalam setiap fase hidup mereka, sehingga banyak hal yang harus diperhitungkan.
Toeti dan Gerakan
Bisa dikatakan bahwa Toeti Heraty adalah seseorang yang menjalankan agensinya dengan strategis, termasuk mendayagunakan privilese personal untuk kepentingan orang banyak. Sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi, memiliki jejaring luas di kalangan berpengaruh, dan kondisi ekonomi yang baik, Toeti mampu membuka pintu-pintu pergerakan untuk meretas kompleksitas sistem yang berjalan pada era Orde Baru, suatu masa yang arah kebijakannya dipengaruhi oleh dan dibuat untuk kepentingan sekelompok masyarakat elite.
Agaknya privilese ini juga yang membangun kepercayaan dirinya untuk berada di dalam berbagai lingkaran multidisiplin. Toeti sangat terbuka akan hubungan personalnya dengan para petinggi karena memang tidak memiliki pretensi untuk memanfaatkan kedekatan tersebut semata-mata demi kepentingan pribadi. Misalnya, Toeti sangat menghargai kedekatan ayahnya dengan Bung Karno, mengenang pertemuan langsungnya dengan beliau, bahkan menduga memiliki hubungan keluarga karena nama eyang Toeti adalah Sosrodikusumo sementara ayah Bung Karno bernama Sukemi Sosrodihardjo (hal ini belum dapat dibuktikan sampai Toeti wafat). Meski demikian, ia bersikap kritis terhadap kebiasaan poligami yang dilakukan oleh presiden pertama republik ini, yang menurutnya berpengaruh pada sejumlah kelambanan perkembangan gerakan perempuan pada masa tersebut.
Pada masa kepresidenan selanjutnya, kantor Balai Oktroi Roosseno (BOR) yang dikelola Toeti bertempat persis di depan rumah Soeharto, di kawasan elite Jalan Cendana. Meski ia bertetangga dekat dan saling mengenal dengan Soeharto, Toeti tidak ragu menjadi bagian dari Gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) yang menginisiasi demonstrasi perempuan memprotes melambungnya harga susu anak pada masa jelang Reformasi bersama beberapa aktivis perempuan lain seperti Julia Suryakusuma, Karlina Supelli, dan Myra Diarsi. SIP juga diketahui membagi-bagikan “nasi reformasi” bagi gerakan mahasiswa 1998 yang turut menumbangkan rezim Soeharto.
Pemikiran feminis Toeti juga berkontribusi dalam pembahasan persoalan kebudayaan secara luas. Hal ini terlihat dari kontribusi Toeti di Dewan Kesenian Jakarta, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Institut Kesenian Jakarta. Keterlibatan Toeti sebagai seorang budayawan tidak hanya dikenal di lingkungan nasional saja. Dalam berbagai kegiatan ia sangat berhasrat untuk melibatkan seniman-seniman Indonesia di kancah internasional. Misalnya, Toeti pernah mengorganisir pameran seni rupa di Vatikan yang melibatkan seniman-seniman perempuan Indonesia, dan ia pun pernah terlibat sebagai editor buku antologi Selendang Pelangi: Antologi Puisi 17 Perempuan Penyair Indonesia (2006) yang telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Bila hendak disimpulkan, ada dua agensi penting yang dilakukan Toeti sepanjang pergerakannya sebagai seorang budayawan, yaitu mencipta ruang (baik secara fisik maupun ruang dialog) dan menyebar bibit; katarsis dari kedua agensi ini adalah kepemimpinan yang berorientasi pada aksi. Ia mengisi berbagai kekosongan yang didapatinya saat memperjuangkan nilai-nilai yang ia percayai lewat cara mendirikan banyak institusi, perkumpulan, dan program sambil membimbing generasi penerusnya, baik secara formal maupun informal. Ia sering sekali dipercaya menjadi ketua atau pemimpin di berbagai institusi. Jiwa kepemimpinan Toeti agaknya menjadi istimewa karena keteguhannya sebagai pemimpin dibarengi dengan kemampuannya untuk memberi ruang bagi kerapuhan atau sisi emosionalnya yang ia tuangkan dalam bentuk puisi. Hal ini menjadi penting karena seringkali kepemimpinan (setidaknya di Indonesia) hanya diasosiasikan dengan posisi otoritatif yang memiliki ketegasan, kemampuan organisasi, dan intelektualitas. Sepertinya bagi Toeti kepemimpinan (sebagai sikap) bukanlah persoalan menjadi pemimpin (posisi/kekuasaan), melainkan sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan dari misi pergerakan yang berangkat bersamanya. Sifat kepemimpinan serupa juga terlihat pada beberapa aktivis perempuan segenerasinya, antara lain Saparinah Sadli yang bergerak di lini akademis dengan mendirikan Pusat Studi Wanita di UI pada 1989.
Merefleksikan seorang Toeti Heraty secara objektif adalah suatu pekerjaan yang menantang karena begitu banyak jasa serta kontribusi yang telah diberikan semasa hidupnya bagi perkembangan kebudayaan di Indonesia. Di satu sisi, sosok Toeti terasa berjarak karena posisinya yang begitu tinggi sehingga mengharuskan kita mendongak untuk memandang begitu banyak kiprah dan prestasinya. Di sisi lain, kehangatan Toeti Heraty terasa begitu dekat melalui suaranya yang lembut dan berlogat ‘Belandis’, karya-karyanya menyuarakan realitas perempuan dan terus hadir menginspirasi kita untuk membuka lebih banyak ruang bagi gerakan perempuan dan kebudayaan.
Melalui puisi, tulisan, dan warisan pemikiranmu, Bu Toeti,
Kami mengenal arti: Jiwa yang bebas.
Spirit-mu, tidak akan pernah mati.
Kepustakaan
Arivia, G. 2021. Toeti Heraty: Kupu-kupu dalam Sinar Matahari, 14 Juni 2021, https://www.jurnalperempuan.org/tokoh-feminis/toeti-heraty-kupu-kupu-dalam-sinar-matahari?locale=en
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ensiklopedia Sastra Indonesia. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Toeti_Heraty
Heraty, Toeti. 1982. Mimpi dan Pretensi. Jakarta: Balai Pustaka.
______________. 2012. Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki/The Story of A Woman Sacrificed to Patriarchy (Bilingual Edition), http://webadmin.ipusnas.id/ipusnas/publications/books/22882/. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
______________. 2021. Ajaib, Nyata, Terkadang Lucu - Fragmen Autobiografi Toeti Heraty. Jakarta: Kompas Gramedia.
Paramadhita, I. 2021. Toeti Heraty untuk Setiap Perempuan, 25 Juni 2021, (https://intanparamaditha.com/news/toeti-heraty-untuk-setiap-perempuan)
Sugihastuti. 1991. “Tanggapan Pembaca terhadap Sajak-sajak Toeti Heraty”, Jurnal UGM No. 3 (1991) https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/2088/1888