Marianne Katoppo: Dekolonisasi Perempuan Asia dalam Teologi
oleh: Anna Hindom Anny, Christine Toelle, Ilda Karwayu, dan Lusiana Limono
“Bahasa adalah di mana Teologi dimulai.”
Marianne Katoppo adalah seorang perempuan penulis sekaligus akademikus teologi berkebangsaan Indonesia. Ia secara aktif menerbitkan teks bernarasi kritis berupa buku fiksi dan nonfiksi—dengan perspektif feminis—sekitar tahun ‘70 sampai dengan ’80-an. Perspektif feminis, yang menjadi sudut pandang Marianne dalam menyampaikan gagasannya berangkat dari konteks kesukuan dan ras. Ia dengan tegas menyebut identitasnya sebagai titik tolak.
Beragam literatur yang mengulas memoar hidup Marianne hampir selalu diawali dengan latar belakang keluarganya. Lahir di Tomohon, 9 Juni 1943, ia adalah anak bungsu dari pasangan Elvianus Katoppo dan Pitong Agnes Stientje Rumokoij. Latar tersebut hampir selalu dibahas dengan narasi yang menjelaskan betapa ternama ayahnya di lingkup nasional sebagai seorang tokoh agama dan pendidikan di Indonesia. Sementara itu, sudut pandang tulisan ini akan mengedepankan narasi yang berpusat pada Marianne.
Sebagai anak bungsu dari 10 bersaudara, Marianne dan kakak-kakaknya tumbuh dengan akses pendidikan yang terbuka dan setara. Akses tersebut membentuk Marianne, secara pribadi, menjadi manusia dengan keahlian beragam; salah satunya adalah keahlian berbahasa. Marianne menguasai 12 bahasa, dua di antaranya adalah bahasa Ibrani dan bahasa Yunani.
Pola asuh dan pemikiran dalam lingkup keluarganya sangat memberi pengaruh pada bagaimana Marianne muda memupuk sikap kritis. Melalui akses pendidikan dan perjalanan kerja Marianne yang cenderung kosmopolit, karyanya berhasil diterbitkan dalam terjemahan banyak bahasa, jurnal internasional, dan mendapat perhatian dalam beragam konferensi organisasi dunia.
Persepsi Kritis Marianne
Pengembangan sikap kritis Marianne telah dimulai sejak dini. Di rumah, ia secara masif terpapar oleh pola belajar ayah, ibu, dan saudara-saudaranya. Salah satu perspektif yang kelak mengkristal dalam dirinya adalah perspektif historis yang ia peroleh dari ayahnya. Sejarah ditulis oleh orang-orang yang mampu menulis dan dibaca oleh mereka yang mampu membaca. Kemudian, diperbincangkan, diproduksi dan direproduksi, pun disebarluaskan oleh yang mampu membaca dan menulis.
Hal tersebut menumbuhkan sebuah keyakinan dalam citra diri Marianne, bahwa kemampuan membaca dan menulislah yang membentuk sejarah. Bertolak ke teologi sebagai disiplin ilmu yang ditekuni oleh Marianne, kedalaman atas ilmu tersebut diberdayakannya untuk menggugat gereja. Melalui tulisannya, Marianne mempertanyakan secara kritis sejumlah aturan gereja. Satu di antaranya ialah demonisasi perempuan oleh pemuka agama. Demonisasi sendiri merupakan tindakan konstruksi keburukan suatu individu/kelompok hingga lahirlah citra buruk sempurna dari mereka; seolah-olah tak ada satu kebaikan pun.
Sikap demonisasi terhadap perempuan tersebut tampaknya serupa dengan salah satu masa histeria massal bertajuk Pengadilan Penyihir Salem yang merajalela pada 1692 sampai dengan 1693. Pada masa tersebut, Skotlandia menjadi negara yang paling banyak membantai manusia tanpa pengadilan. Mereka dituduh sebagai penyihir, dan tidak semuanya terbukti secara objektif melalui proses pengadilan. Di antara para korban yang dituduh sebagai penyihir itu, lebih dari 80 persennya adalah perempuan. Agaknya sentimen terhadap perempuan telah dimulai sejak era tersebut; sebab prinsip curiga terhadap perempuan kala itu sama belaka seperti prinsip demonisasi yang terjadi pada era Marianne.
Seiring dengan sikap kritis tersebut, semangat anti-kolonial pun terbentuk dalam diri Marianne. Semangat itu, nyatanya, tak tunggal berasal dari kerja-kerja kritisnya, melainkan sebuah laku yang telah lama berkembang di masyarakat suku Minahasa; yang membela kaum perempuan dari suku mereka atas pelecehan yang dilakukan tentara Belanda ketika berada di tanah bagian utara Sulawesi tersebut. Dari Marianne kita berkaca bahwa keberanian diri dibentuk oleh lingkungan.
Hal lain yang berperan hebat dalam keberanian Marianne mengemukakan kritik ialah privilese akses yang didapatkannya melalui gerak berorganisasi. Dalam advokasi politik dan kemanusiaan, ia terlibat dalam beberapa forum. Pada 1980, ia menjadi anggota dari Kelompok Hapus Hukuman Mati (HATI), dilanjutkan pada 1991 ia menjadi salah seorang pendiri Forum Demokrasi.
Selain itu, pergerakannya dalam dunia teologi pun bukan saja sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologi, tetapi juga terlibat dalam organisasi teologi lainnya; seperti International Council World Conference for Religion and Peace selama 1989 sampai 1994, dan sebagai anggota pendiri serta koordinator dalam Eucumenical Association of Third World Theologians (EATWOT) Indonesia.
Keterlibatannya sebagai anggota serta pemuka keoorganisasian semacan HATI dan Forum Demokrasi menjadi jejak aktivisme Marianne dalam konteks kolektif. Ia memiliki kesadaran global yang muncul dari keterlibatannya dalam forum-forum organisasi tersebut. Aktivitasnya dalam perjuangan isu-isu kemanusiaan berlangsung saat umurnya sudah matang, nyaris 50 tahun pada masa-masa tersebut.
Sementara itu, terusan dan warisan pemikirannya, gagasan advokasi feminis diteruskan melalui berbagai jurnal dan esai interdisiplin teologis dan politis. Secara nyata, kesadaran berorganisasi Marianne tidak berhenti dan selesai melalui kegiatan kolektifnya—ia terus terlibat dalam berbagai gerakan meretas pandangan kolonial generasi setelahnya.
Meski aktif sebagai akademikus dan aktivis yang menulis buku nonfiksi dengan gagasan segar—kala itu, masyarakat publik Indonesia justru lebih dahulu mengenal Marianne melalui karya-karya fiksinya. Beberapa di antaranya yang paling dielukan adalah Dunia Tak Bermusim (1974), Raumanen (1977), dan Anggrek Tak Pernah Berdusta (1979). Karya-karya tersebut didominasi nuansa roman dengan pola alur cerita bertokoh perempuan dalam pelik cinta dan polemik sosio-kultural. Anggrek Tak Pernah Berdusta bahkan adalah novel pertama yang membahas tentang laki-laki gay yang terjebak dalam sistem patriarki. Novel Marianne ini menunjukkan ia telah melampaui zamannya, dengan menghadirkan sudut pandang interseksionalitas.
Sedangkan karya-karya lain Marianne, yang berangkat dari kritik keilmuan dan tertuang dalam buku nonfiksi, lebih banyak diterbitkan di luar Indonesia. Membaca hal tersebut, besar dugaan bahwa hal itulah yang menyebabkan karya nonfiksi Marianne begitu terlambat diakrabi oleh kita semua sebagai masyarakat publik Indonesia. Padahal, gagasan dalam buku-buku nonfiksinya menyumbang pengetahuan besar bagi bidang teologi di Indonesia.
Hal ini perlu dan genting untuk dibahas, melalui karya kritik tersebut, pernyataan dan kegeraman Marianne dapat kita sarikan. Memanglah pada karya fiksinya dapat kita selami emosi dan kritik halus pada jalan hidup melalui ragam tokoh perempuan Indonesia. Akan tetapi, kelugasan atas gagasan Marianne lebih mudah ditangkap pada tulisan lain Marianne yang diterbitkan dalam jurnal dan surat kabar. Sehingga, sosoknya yang bergeliat dalam dimensi beragam dapat kita pelajari secara meluas; bukan saja berhasil sebagai penulis novel populer, ia pun merupakan akademikus teologi yang perseptif.
Dalam berbagai studi dan pencatatan sejarah, produksi karya dan pemikiran Marianne muncul pada masa rezim Orde Baru. Ia mengakui bahwa tulisannya pada masa itu dianggap terlalu ‘progresif’, tulisan-tulisannya ‘membebaskan’. Marianne sendiri menggolongkan karyanya sebagai karya yang dilabeli pada masa rezim Orde Baru sebagai theologia pembebasan. Hal ini menjadi kunci, bahwa diksi kata terbebaskan tidak akan muncul tanpa adanya pembatasan, pengungkungan, dan politik gerak yang ‘memenjarakan’. Pada rezim Orde Baru, karya Marianne dianggap terlalu berani, bersifat membebaskan, dan progresif.
Gagasan tersebut diwakilkan dalam salah buku nonfiksinya yang dikenal luas kini. Salah satu buku karya Marianne perihal teologi, berjudul Compassionate and Free. Buku tersebut dianggap sebagai kitab teologi perempuan Asia pertama yang ditulis oleh orang Asia, diterbitkan World Council of Churches pada 1979 di Jenewa. Mirisnya, buku ini baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tersentuh dan Bebas: Teologi Seorang Perempuan Asia setelah 28 tahun diterbitkan—mengingat bahwa buku tersebut telah dikonsumsi di negara-negara lain. Bahkan, saat itu buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Tagalog, Inggris, dan Jerman.
Marianne selalu bergerak secara kritis meski negara menganggap gagasan darinya terlalu “berani” untuk ukuran publikasi pada era ‘70—oleh seorang perempuan beragama minoritas dan dari Indonesia Timur pula. Dalam karya-karyanya, perjuangan utama Marianne adalah pengubahan tatanan bahasa dengan perspektif feminis di ruang teologi. Tentulah tatanan bahasa itu tampak dalam karya-karyanya. Sejak 1978, Marianne secara sadar menggunakan kata ‘perempuan’ alih-alih ‘wanita’ di setiap tulisannya. Pilihannya tersebut bukan tanpa alasan.
Berdasarkan analisisnya, istilah ‘perempuan’ berakar dari kata ‘empu’ yang merujuk pada kebijaksanaan, kuasa, dan wibawa. Dalam pandangan Marianne, yang hingga kini diamini oleh sebagian besar pengguna diksi tersebut, istilah ‘perempuan’ lebih berdaulat. Sedangkan istilah ‘wanita’ berarti yang disanjung oleh seluruh dunia. Arti demikian justru membuat seolah-olah kaum perempuan membutuhkan isi dunia untuk menyanjung atau memvalidasi eksistensinya.
Bagan waktu konstelasi hidup dan karya esai Marianne Katoppo
Bunga Rampai Karya Pemikiran Teologis Marianne
Compassionate and Free menjadi salah satu jejak pertama Marianne dalam tulisan kritik non-fiksi. Selanjutnya, banyak karyanya berbasis pada turunan dan pengembangan dari kritik tersebut, di antaranya pada dasawarsa ‘70 akhir hingga ‘80 awal melalui “Conversion: An Asian Woman’s Experience: From Tribal Priestess to Social Critic” (1979), “Asian Theology: An Asian Woman’s Perspective” (1979), dan “Citra Wanita Menurut Agama Kristen” (1981). Pada 1990-an, terbit “The Church and Prostitution in Asia” (1994) dan “The Concept of God and the Spirit from the Feminist Perspective” (1994). Karya-karya ini diterbitkan dalam beragam jurnal dunia.
Karya-karya tersebut muncul dalam interval periode yang dekat, dengan konteks yang selaras. Mirisnya, karya-karya ini mendapatkan perlakuan serupa dari pola opresi rezim yang berjalan di Indonesia saat itu. Akses publik sungguh-sungguh terbatas dan terasingkan dari jejak karya yang menghadirkan persepsi Marianne yang ‘membebaskan’. Karya-karyanya juga secara konsisten meretas konsepsi perempuan dalam kekristenan. Kritiknya, bukan hanya diangkat dari pengalaman pribadi Marianne sebagai seorang perempuan Asia yang memeluk keyakinan kristiani, tetapi turut ditunjang dengan wawasannya mengenai produk sejarah dan kajian tafsir teologi yang ekstensif.
Pada periode ‘70 dan ‘80-an, secara intensif Marianne mengkritisi konstruksi dan warisan gagasan orientalis mengenai perempuan Asia, dengan kritik sosial dalam studi teologi kekristenan. Pada waktu yang lebih kini, sekitar tahun ‘90-an di umurnya yang lebih tua, tulisannya lebih banyak mengkritisi struktur dan posisi gereja melalui perspektif feminis. Pengembangan gagasan ini tentu dipengaruhi juga oleh kerekatan Marianne dengan narasi global. Keterlibatan dalam organisasi kemanusiaan melekatkan Marianne dengan kontekstualitas tulisannya. Alih-alih mengelompokkan tulisannya dalam beragam kotak kritik berbeda, kita justru dapat mengamati secara nyata betapa esai-esai Marianne berkarakter tegas nan laur, serta kompleks nan lugas.
Tulisannya selalu dimulai dari kajian ulang struktur gereja. Marianne menggugat sistem gereja yang disebutnya sebagai patriarkal par excellence, suatu sifat yang menjadi acuan utama bagi berlangsungnya opresi terhadap para perempuan Kristen, terutama di Asia. Ia secara cermat mengupas bagaimana perempuan Asia diposisikan sebagai ‘yang lain’. Sementara itu, rasa takut gereja terhadap ‘yang lain’ atau ‘liyan’ menormalisasi anggapan bahwa perempuan bukanlah tercipta untuk berpikir—hal yang tentu saja bertentangan dengan advokasi pandangan feminis yang diserukan oleh Marianne.
Konteks posisi perempuan Asia dalam tulisannya juga sarat dengan ketidakpuasan dan ketidakbebasan. Status perempuan selalu ditempatkan, sebagai status warisan, sesuatu yang diperoleh; seperti anak dari…, ibu dari…, istri dari…. dan seterusnya. Marianne membeberkan perspektif sejarah jauh sebelum masyarakat dikuasai oleh lelaki pada periode 5.000–2.000 SM. Ia mengungkapkan bahwa strukturnya berpusat pada ibu, sifatnya sangatlah ginosentris. Demikian pula seperti yang tertulis pada Quran, bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Marianne menguraikan bagaimana ‘bahasa sebagai indikator subordinasi’ bisa ditelusuri melalui penggunaan kata laki-perempuan yang berasal dari bahasa Melayu dibandingkan dengan kata pria-wanita yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Detail pengetahuan Marianne terhadap sebuah istilah—macam di atas—masih sangat perlu disebarluaskan pada masa kini sebagai pengetahuan dasar sebuah pilihan kata. Sebab pilihan kata, secara tak langsung, memperlihatkan posisi kita dalam menyampaikan gagasan. Kesadaran terkait akar suatu kata atau etimologi menentukan seberapa tahu penggunanya atas kata yang ia gunakan.
Masyarakat Indonesia tidak berorientasi pada prestasi, tetapi pada hubungan/relasi kosmologi. Keibuan kolektif tampak melalui gestur keseharian, seperti sebutan budhe (ibu gedhe), bulik (ibu cilik) pada masyarakat Jawa, atau inang tua pada masyarakat Batak. Melalui padanan kata-kata tersebut, Marianne menjabarkan bahwa perempuan memegang peranan penting, yang tidak dapat ditiadakan dalam proses produksi dan reproduksi.
Sebutan “perawan” seperti pada perawan Maria melambangkan otonomi perempuan. Sebutan lain seperti Ibu Agung, Magna Mater, Dewi Bulan, Notre Dame menunjukkan keagungan perempuan. Anak yang lahir di luar nikah adalah lahir dari perawan. Beberapa poin terkait matriarki yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa matriarki bukanlah cermin patriarki; matriarki bersifat egaliter, tidak otoriter; matriarki mementingkan swasembada untuk konsumsi, bukan surplus dan tidak agresif; rumah sebagai pusat kekuasaan. Masyarakat mengalami degradasi ketika meninggalkan matriarki.
Melalui kritik linguistik dan teologi tersebut, Marianne juga mengungkapkan rasa geram pada eksploitasi non-person, yang merupakan dampak kolonialisme. Gerakan Perempuan Indonesia hadir dengan proses berbeda dibandingkan negara-negara di Barat. Partisipasi politik perempuan Indonesia sudah setara, dan hal ini pun diatur menurut hukum, bukan untuk pribadi, melainkan untuk kepentingan suku, sehingga mas kawin menjadi penting. Sedangkan bagi perempuan kota, mas kawin menjadi komoditas seksual. Warisan kesetaraan ini dalam ilmu teologi adalah bahwa penyebutan Tuhan di Indonesia tidak mengenal gender. Penyebutan Tuhan dalam bahasa Indonesia cukup dengan kata: Dia.
Marianne sebagai seorang perempuan Asia
Secara menyeluruh dan sebagai otokritik—dirinya sebagai seorang perempuan asal Indonesia—Marianne selalu mengkritisi persepsi sosial di Indonesia. Masyarakat kita menjadikan kuasa sebagai modal utama bagi gerak kehidupan dan rekam kenamaan. Seringkali, dengan mengorbankan ruang pembaharuan dan seturut dengan denyut produksi ilmu untuk terus termutakhirkan. Sebagai contoh, dapat kita baca tulisan pengantar yang ia sampaikan pada terjemahan buku Tersentuh dan Bebas (2007). Lagi-lagi, secara jelas ia menjelaskan bahwa kondisi politik menjadi alasan utama karyanya terlambat dibaca oleh ‘saudara’-nya sendiri.
Hal ini tentunya sejalan dengan keyakinannya, bahwa ia sebagai perempuan adalah pemberi dan pemelihara kehidupan. Marianne menjadi salah satu tokoh feminis dengan pandangan tegas, bahwa perempuan mampu membebaskan dan bisa mendekolonisasi dirinya dari nilai pinjaman, atau ‘terjemahan’ ideologi asing.
Membaca tulisan Marianne bagai menemukan warisan yang selama ini tersembunyi. Keberaniannya mengkritisi sebuah institusi besar—yang ia pun termasuk di dalamnya—merupakan suatu keberanian yang luar biasa. Ia menunjukkan kualitas spiritualitas yang melampaui pemahaman religius. Ketekunannya menangkap apa yang keliru, kemudian mengurai permasalahan tersebut hingga mengejarnya sampai ke akar, tak jarang, membuat sebagian orang menyebutnya perempuan histeris. Padahal, laku Marianne merupakan kerja seorang intelektual yang patut diteladani.
Selain itu, kemampuannya melihat secara jernih dan mengkritisi ‘ke dalam’ institusi agama yang menjadi keyakinannya, jelas bukanlah hal yang bisa diraih dengan mudah dan sepele. Pemikiran kritis yang sangat jernih, keberaniannya memihak dan menyuarakan perlawanan, menghadapi risiko pembungkaman dan tidak populer merupakan harga diri perempuan yang diwariskan Marianne. Sepak terjang Marianne adalah pemikiran dekolonisasi. Dekolonisasi pemikiran yang tidak meminjam pemikiran barat, tetapi berangkat dari kelokalannya sebagai Perempuan Kristen Asia.
Marianne mewariskan tulisan dan pemikiran untuk kita semua. Sebuah perlawanan senyap, yang meninggalkan jejak nyata. Tantangan sekaligus pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana kita melanjutkan estafet pemikiran kritis tersebut dengan konteks masa kini? Bukankah kerja merawat adalah kerja perempuan? Haruskah kita sekeras dan seekstrem Marianne untuk melawan? Risiko dianggap histeris, tidak populer bahkan dibungkam sebagaimana halnya yang dialami Marianne dulu masih saja besar. Ketimpangan gender dan demonisasi perempuan bukan memudar, malah semakin kuat.
Di sisi lain, kita dapat berandai-andai bahwa bilamana Marianne “melunakkan” pergerakannya—secara politis menembus ruang elite Jawa—agar gagasannya dapat dibaca lebih banyak orang kala itu, mungkin saja kita akan lebih cepat melahap tulisan-tulisan nonfiksinya. Akan tetapi, hal tersebut bisa jadi telah dilakukannya, hanya saja, terdapat gerakan politik lain yang berhasil memangkas akses masyarakat umum untuk membaca karya Marianne.
Sebelum meninggal dunia pada 2007 lalu, Marianne banyak melahirkan gagasan bernas dan kritis atas status perempuan; terhadap padanan istilah, juga persepsi sosial-budaya. Pembebasan perempuan sebagai objek dan dekolonisasi bahasa dalam teologi. Hal ini menjadi nilai-nilai utama yang ia perjuangkan semasa hidupnya. Marianne berhasil meretas pemahaman padanan Barat, dan mengingatkan kembali citraan perempuan bagi Indonesia, dan Asia.
Kepustakaan
Adela, Elpiwin. “In Memoriam Marianne Katoppo.” pdfslide.tips, 23 Juni 2015, pdfslide.tips/documents/in-memoriam-marianne-katoppo.html.
Benjamin, R., dan Fadrik Aziz Firdausi. “Sejarah Kelam Perburuan and Pengadilan Penyihir Di Skotlandia.” tirto.id, 31 Mei 2022, tirto.id/sejarah-kelam-perburuan-pengadilan-penyihir-di-skotlandia-gscX.
Ensiklopedia Sastra Indonesia, “Marianne Katoppo.” Ensiklopedia Sastra Indonesia, ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Marianne_Katoppo. Terakhir diakses pada 5 Maret 2022.
Katoppo, Marianne. “Citra Wanita Menurut Agama Kristen.” Prisma - Wanita Indonesia: Terpaku Di Persimpangan, Vol. 7, No. X, 1981, hlm. 68–72. Gudang Warsip, warungarsip.co/produk/kliping/marianne-katoppo-citra-wanita-menurut-agama-kristen-prisma-juli-1981.
---. Compassionate and Free: An Asian Woman’s Theology. e-book, Orbis Books, 1980.
---. Tersentuh dan Bebas. Aksara Karunia, 2007.
Masri, Agustinus. “Sumbangan Teologi Feminis Marianne Katoppo dalam Buku Compassionate and Free bagi Perjuangan demi Keadilan Gender di Indonesia.” STFK Ledalero., 2020. repository.stfkledalero.ac.id, repository.stfkledalero.ac.id/165.
Pasaribu, Norman, dan Shaffira Gayatri. “Marianne Katoppo: The Frog Who Left the Coconut Shell Far Behind - Asymptote Blog.” Asymptote Journal, 28 September 2017, www.asymptotejournal.com/blog/2017/09/28/marianne-katoppo-the-frog-who-left-the-coconut-shell-far-behind.
Satupena, “SATUPENA - Persatuan Penulis Indonesia.” Satu Pena, 12 Maret 2020, satupena.id/2020/03/12/almh-marianne-katoppo-yang-hampir-terlupakan-dari-sastra-indonesia.
Suryomenggolo, Jafar. “’All Woman Authors’: Daftar Tandingan Penghargaan Sastra 2020.” Magdalene, 24 September 2020, https://magdalene.co/story/all-woman-authors-daftar-tandingan-penghargaan-sastra-2020.
Susanti, Aya. Feminisme radikal. Yayasan Kalam Hidup, 2008.
Wijaksana, MB. “(Almh.) Marianne Katoppo: Yang Hampir Terlupakan Dari Sastra Indonesia.” Jurnal Perempuan, www.jurnalperempuan.org/tokoh-feminis/almh-marianne-katoppo-yang-hampir-terlupakan-dari-sastra-indonesia?locale=en. Terakhir diakses pada 5 Maret 2022.